Anak Pemilik Ponpes di Rajabasa Bandar Lampung Dilaporkan ke Polisi
ANDALASNET.COM
Bandar Lampung - Dunia pendidikan pesantren kembali tercoreng. Dugaan tindak kekerasan di lingkungan Pondok Pesantren Tahfidz Qur’an Miftah Daar Assa’adah, Jalan Temenggung 2, Rajabasa Raya, Bandar Lampung, mencuat ke publik.
Seorang santri berinisial VTAP (17) mengaku mengalami penganiayaan oleh oknum santri lain, berinisial IAY, yang diketahui merupakan anak kandung pemilik pondok pesantren tersebut.
Saat dikonfirmasi, VTAP menceritakan kronologi peristiwa yang dialaminya. Ia menyebut, kejadian bermula saat dirinya ditunjuk sebagai ketua kebersihan di pondok.
Saat menegur salah satu santri yang melanggar aturan kebersihan, tak disangka teguran tersebut berujung petaka.
“Malam harinya saya didatangi oleh IAY. Dia langsung memukul wajah saya dua kali. Saat saya menunduk menahan sakit, kepala bagian belakang saya dipukul tiga kali, lalu punggung saya ditendang. Saya berusaha lari keluar asrama untuk melapor ke ustaz, meskipun saat itu kondisi saya sangat lemah karena menderita penyakit asma,” jelas VTAP, dengan suara bergetar menahan air mata.
Tidak hanya sampai di situ, VTAP mengungkapkan bahwa beberapa hari setelah kejadian, ia justru dipanggil oleh pihak pondok pesantren.
“Saya dipanggil oleh pemilik pondok yang juga orang tua pelaku. Di dalam kantor, saya diberikan surat dan dipaksa menandatanganinya. Saya merasa tertekan. Tidak lama setelah itu, saya malah diberhentikan secara sepihak oleh pihak pondok,” ujarnya.
Karena hal tersebut, Laporan dugaan penganiayaan pun telah dilayangkan oleh keluarga korban ke Polsek Kedaton dengan Nomor: STPLP/B/182/III/2025/SPKT/POLSEK KEDATON/POLRESTA BANDAR LAMPUNG/POLDA LAMPUNG, tertanggal 10 Maret 2025.
Saat dikonfirmasi, pemilik Pondok Pesantren Miftah Daar Assa’adah, Riki Amasoni, tidak membantah kejadian tersebut. Ia bahkan menyatakan bahwa insiden serupa kerap terjadi di lingkungan pesantren.
“Jangan heran, di dunia pondok memang biasa seperti ini. Bahkan, kalau di pulau Jawa lebih parah. Tapi kami masih ada rasa kemanusiaan. Kami telah memberikan uang Rp10 juta kepada korban, dengan syarat mencabut laporan di kepolisian,” ujar Riki.
Riki juga menambahkan, apabila pihak korban tidak melaksanakan isi surat perdamaian yang sudah dibuat, dirinya akan menempuh jalur hukum perdata.
Namun, saat ditanya awak media apakah pemberian kompensasi dan pencabutan laporan dapat menghapus dugaan tindak pidana, Riki enggan memberikan komentar lebih jauh.
“Saya tidak paham soal hukum, saya hanya mengurus bidang keagamaan,” kilahnya.
Sementara itu, menanggapi maraknya kasus kekerasan di pesantren, Sekretaris 1 Solidaritas Pers Indonesia (SPI), John Mayor S. Naga, S.E., menegaskan pentingnya evaluasi terhadap sistem pendidikan pesantren.
“Kekerasan di pesantren harus dihentikan. Tidak boleh ada toleransi jika pesantren ingin tetap dipercaya sebagai lembaga pendidikan karakter bagi generasi bangsa. Pendidikan pesantren lahir sebagai respons terhadap kemerosotan moral masyarakat, dengan mengedepankan nilai amar ma’ruf nahi munkar, akhlak mulia, serta kemanusiaan,” tegasnya.
John Mayor menambahkan, pesantren tidak semata-mata bertujuan memperkaya pengetahuan, melainkan juga membentuk moral dan akhlak yang luhur.
“Pertanyaannya, apakah pesantren saat ini sudah benar-benar mencerminkan tujuan luhur tersebut?” pungkasnya. (A. Gandi)