Digitalisasi Agribisnis, Menjawab Tantangan Efisiensi dan Pasar

Digitalisasi Agribisnis, Menjawab Tantangan Efisiensi dan Pasar
Teknologi

19 Juni 2025 |

Digitalisasi Pertanian Bukan Lagi Pilihan, Tapi Kebutuhan Nasional 

 ANDALASNET.COM 

Digitalisasi agribisnis kini menjadi keharusan, dalam menjawab tantangan efisiensi dan akses pasar yang sudah lama membelenggu sektor pertanian Indonesia. Menurut data Kementerian Pertanian, lebih dari 90 persen petani Indonesia masih tergolong petani kecil yang kerap kesulitan dalam hal teknologi, informasi, dan modal. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Thailand. Digitalisasi dapat menjadi pintu masuk bagi reformasi struktural yang dibutuhkan dalam sistem agribisnis nasional. Dengan memanfaatkan teknologi seperti Internet of Things (IoT), petani bisa mengetahui kondisi lahan secara real-time, termasuk kelembaban, pH tanah, dan hama. 

Keputusan yang sebelumnya hanya didasarkan pada kebiasaan kini dapat diganti dengan data akurat. Hal ini akan mengurangi risiko gagal panen dan penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Selain itu, kecerdasan buatan (AI) juga dapat memprediksi pola cuaca dan permintaan pasar sehingga waktu tanam dan panen bisa diatur lebih strategis. Kemampuan ini akan meningkatkan pendapatan petani sekaligus ketahanan pangan nasional. Maka dari itu, digitalisasi harus segera diimplementasikan secara sistemik dan menyeluruh.
Salah satu kendala utama yang dihadapi petani selama ini adalah distribusi hasil panen yang panjang dan tidak efisien. 

Petani kerap harus menjual hasil panennya kepada tengkulak karena tidak memiliki akses langsung ke pasar konsumen. Akibatnya, mereka hanya mendapatkan sebagian kecil dari nilai ekonomis produk yang mereka hasilkan. Kehadiran platform e-commerce pertanian seperti TaniHub, Kedai Sayur, dan eFishery memberikan solusi terhadap masalah ini. Platform ini memotong jalur distribusi dan menghubungkan langsung petani dengan konsumen, restoran, bahkan pasar ekspor. 

Selain mendapatkan harga yang lebih baik, petani juga mendapatkan informasi harga pasar secara real-time sehingga mereka bisa menyesuaikan strategi tanam. Konsumen juga mendapatkan keuntungan berupa transparansi asal-usul produk dan jaminan kesegaran hasil pertanian. Teknologi blockchain yang mulai digunakan dalam agribisnis juga memungkinkan keterlacakan produk dari ladang hingga meja makan. Hal ini menjadi nilai tambah penting dalam memenuhi standar ekspor internasional. Dengan distribusi yang lebih ringkas dan transparan, keuntungan petani meningkat dan kepercayaan konsumen pun tumbuh. 

Meskipun manfaat digitalisasi sangat besar, tantangan di lapangan tidak bisa dianggap remeh. Salah satu hambatan paling mendasar adalah infrastruktur digital yang belum merata, khususnya di wilayah pedesaan dan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Banyak desa pertanian di Indonesia yang belum memiliki akses internet stabil, bahkan masih mengalami kesulitan mendapatkan aliran listrik secara konsisten. 

Kondisi ini membuat penggunaan perangkat digital seperti sensor IoT, aplikasi mobile, atau platform daring menjadi tidak memungkinkan. Selain infrastruktur, tingkat literasi digital di kalangan petani juga masih rendah, terutama bagi petani lanjut usia. 

Mereka cenderung enggan menggunakan teknologi karena merasa rumit atau tidak percaya diri. Padahal, jika diberikan pelatihan dan pendampingan yang tepat, kemampuan petani untuk mengoperasikan teknologi dapat meningkat secara signifikan. Oleh karena itu, digitalisasi tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan kebijakan yang konkret dan kolaboratif. Pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pendidikan harus bersinergi dalam memperluas akses dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia pertanian. Tanpa itu semua, digitalisasi hanya akan menjadi jargon tanpa dampak nyata. 

Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk mendorong digitalisasi agribisnis adalah pemerataan infrastruktur digital. Pemerintah harus bekerja sama dengan operator telekomunikasi untuk memperluas jaringan internet broadband hingga ke desa-desa pertanian. Selain itu, perlu dilakukan investasi dalam energi terbarukan seperti panel surya untuk menyediakan listrik di wilayah yang belum terjangkau PLN. Infrastruktur yang kuat akan membuka pintu bagi penggunaan teknologi seperti aplikasi pertanian, pelatihan daring, dan transaksi digital. 

Dengan koneksi internet yang stabil, petani bisa mengakses informasi harga, cuaca, pupuk, serta terhubung langsung dengan pembeli. Hal ini akan mempersingkat waktu pengambilan keputusan dan meningkatkan efisiensi operasional. Pemerintah juga dapat mendorong pembangunan pusat-pusat layanan digital pertanian di setiap kecamatan atau desa. Pusat ini bisa menjadi tempat edukasi, konsultasi, serta inkubasi teknologi pertanian berbasis lokal. Jika semua desa memiliki akses infrastruktur yang memadai, maka ketimpangan digital antara kota dan desa akan menurun. Dampaknya adalah peningkatan produktivitas, efisiensi biaya, dan inklusi ekonomi yang lebih merata di sektor pertanian. 

Selain infrastruktur, aspek pelatihan dan literasi digital menjadi kunci keberhasilan transformasi agribisnis berbasis teknologi. Teknologi yang canggih akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menggunakannya secara efektif. Oleh karena itu, diperlukan program pelatihan berkelanjutan yang menyasar petani dari berbagai latar belakang usia dan pendidikan. Pelatihan ini sebaiknya disampaikan dalam format yang sederhana, berbasis visual, dan mudah diakses oleh petani di desa. Misalnya, dengan video singkat berbahasa lokal yang menjelaskan cara menggunakan aplikasi pemantau cuaca atau alat penyemprot otomatis. Selain itu, pendekatan pelatihan berbasis komunitas akan lebih efektif, seperti membentuk duta petani digital dari kalangan pemuda setempat. 

Mereka dapat menjadi agen perubahan dan mentor bagi kelompok tani di lingkungannya. Lembaga penyuluhan dan universitas pertanian juga dapat dilibatkan dalam menyusun kurikulum pelatihan. Dengan demikian, petani bukan hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga subjek utama dalam proses digitalisasi. Pelatihan yang efektif akan membentuk budaya baru yang terbuka terhadap inovasi dan pembelajaran berkelanjutan di sektor pertanian. 

Penting untuk membangun ekosistem digital yang saling terhubung antara petani, startup teknologi, penyuluh, akademisi, dan pelaku pasar. Digitalisasi agribisnis tidak bisa berjalan sendiri, tetapi membutuhkan kolaborasi lintas sektor yang solid. Pemerintah dapat memfasilitasi platform nasional agribisnis digital yang mengintegrasikan layanan informasi, logistik, pembiayaan, dan perdagangan. Platform ini akan berperan sebagai penghubung utama antar pelaku dalam rantai nilai agribisnis secara efisien dan transparan. Di samping itu, kampus dan lembaga riset harus terlibat aktif dalam mengembangkan solusi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Misalnya, pengembangan sensor pertanian murah, drone hemat energi, atau aplikasi prediksi panen berbasis cuaca mikro. 

Dukungan terhadap inkubator dan akselerator startup agritech di daerah juga harus diperkuat untuk menghasilkan inovasi yang kontekstual. Kolaborasi ini akan menciptakan ekosistem pertanian digital yang berkelanjutan dan berbasis kebutuhan nyata di lapangan. Dengan adanya sistem terintegrasi ini, potensi agribisnis nasional akan meningkat secara signifikan dan lebih adaptif terhadap perubahan zaman. 

Transformasi digital agribisnis tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga berdampak pada aspek sosial dan lingkungan. Efisiensi penggunaan air, pupuk, dan pestisida melalui teknologi dapat mengurangi pencemaran dan kerusakan ekosistem pertanian. Selain itu, transparansi dalam rantai pasok akan meminimalisir praktik korupsi, manipulasi harga, dan eksploitasi tenaga kerja tani. Dengan meningkatnya produktivitas dan penghasilan, kesejahteraan petani juga akan membaik dan kemiskinan pedesaan dapat ditekan. 

Generasi muda yang sebelumnya enggan terjun ke dunia pertanian kini mulai tertarik karena adanya sentuhan teknologi. Hal ini membuka peluang regenerasi petani dan memperkuat ketahanan pangan jangka panjang. Digitalisasi juga memungkinkan data pertanian dikumpulkan secara sistematis sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan berbasis bukti yang lebih akurat. Semua ini mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam hal pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan inovasi industri. Dengan demikian, digitalisasi agribisnis menjadi strategi masa depan yang tidak hanya menjawab tantangan efisiensi dan pasar, tetapi juga menciptakan ekosistem pertanian yang tangguh, berkelanjutan, dan inklusif. 

Artikel
Penulis : Maretha Aisyah Izzati 
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi.

Jumlah views : 556
Andalas

Get In Touch

Jln. Lintas Panaragan Jaya No 665 Tulang Bawang Barat Lampung Pos : 34593

085266406365

pt.andalasmediagroup@gmail.com

© Andalas. All Rights Reserved.